Minggu, 17 Mei 2009

SOCIAL COGNITIVE THEORY TUGAS MATA KULIAH ASPEK PERILAKU DALAM K3

Naik Gunung Lawu dengan teman2 dari Poltekkes DEPKES Yogyakarta



SOCIAL COGNITIVE THEORY

TUGAS MATA KULIAH ASPEK PERILAKU DALAM K3


KELOMPOK M

Disusun oleh:

Afdariani Nur H. 0706272420

Dwi Oktavianti 0706272912

Endah Dwi Hastuti 0706272963

Suningrat 0706274104


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2009


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul "Social Cognitive Theory". Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, baik secara moril maupun materiil sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, lancar, dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini. Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Depok, 10 Maret 2009

Penyusun




DAFTAR ISI


Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................

1.2 Perumusan Masalah .................................................................................

1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................

1.4 Metode Penulisan ....................................................................................

1.5 Sistematika Penulisan ..............................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Teori Sosial Kognitif .....................................................

2.2 Definisi Teori Sosial Kognitif ................................................................

2.3 Konsep Teori Sosial Kognitif .................................................................

2.4 Contoh Kasus Teori Sosial Kognitif .......................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................................................................................

3.2 Saran .......................................................................................................

DAFTAR


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fokus dari promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan. Hal ini termasuk dalam setiap definisi promosi dan pendidikan kesehatan dan merupakan komponen penting hampir di semua penelitian pada strategi intervensi pendidikan kesehatan. Tugas dari promosi dan pendidikan kesehatan adalah untuk memahami perilaku kesehatan dan merubah pengetahuan tentang perilaku yang ada menjadi strategi yang berguna dalam meningkatkan kesehatan.

Dalam konsep perilaku kesehatan, terdapat berbagai teori-teori yang mendasarinya, yaitu helath belief model, theory of reason action, social cognitif theory, trans theoritical model, domino theory, theory accident, theory ramsey, human factor theory dan twist chist theory model, behavior by safety, dan model of safety culture.

Pada teori sosial kognitif, dijelaskan mengenai tingkah laku manusia dari segi hubungan timbale balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977). Dalam teori ini, digunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Di samping itu, pandangan dalam teori sosial kognitif tidak didorong oleh rainforcement dari dalam dan juga tidak berasal oleh stimulus-stimulus lingkungan.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, permasalahan yang diambil, yaitu:

· Deskripsi teori sosial kognitif

· Sejarah munculnya teori sosial kognitif

· Konsep teori sosial kognitif

· Contoh kasus dari teori tersebut

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:

· Memenuhi tugas mata kuliah Aspek Perilaku dalam K3

· Mengetahui tentang deskripsi, sejarah singkat, konsep teori dan contoh kasus dari teori sosial kognitif

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah menggunakan metode studi pustaka yang mengambil sumber dari beberapa buku dan internet.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Pada bab pendahuluan terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab pembahasan terdiri dari sejarah singkat teori sosial kognitif, definisi teori, konsep teori dan contoh kasusnya. Pada bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Sejarah Singkat dari Teori Sosial Kognitif

Teori sosial kognitif terbentuk dalam cakupan yang luas dari konsep teori dan telah di realisasikan di beberapa bidang. Miller dan Dollart (1941) dengan jelas memperkenalkan apa yang mereka sebut dengan teori pembelajaran sosial yang menjelaskan tentang peniruan perilaku hewan dan manusia. Konsep teori pembelajaran sosial didasarkan pada prinsip pembelajaran klasik dan ide motivasi dari Hull (1943). Teori pembelajaran menjelaskan mekanisme dari perilaku.

Rotter pertama kali mengaplikasikan prinsip pembelajaran sosial pada psikologi klinik (1954). Pada tahun 1962, Albert Bandura menerbitkan sebuah artikel tentang pembelajaran sosial dan tiruannya. Bandura dan Walters (1963) mengusulkan bahwa anak-anak dapat menyaksikan anak-anak lain untuk belajar perilaku baru dan tidak membutuhkan hadiah secara langsung. Jadi, seorang anak belajar dengan cara mengobservasi perilaku anak-anak lain dan menghargai pemberian orang lain. Pada tahun 1969 Bandura mendeskripsikan dasar konsepsual untuk perubahan perilaku dengan menegaskan pada teori pembelajaran tradisional.

Mischel (1973) mengusulkan pertama kali gagasan kognitif yang membentuk sebuah dasar kognitif untuk teori sosial kognitif. Stokols (1975) mengaplikasikan konsep pembelajaran observasi pada penurunan risiko penyakit cardiovaskuler. Pada tahun 1977 Bandura menyatakan sanggahannya terhadap prinsip teori pembelajaran

2.2 Definisi

Teori kognitif sosial merupakan salah satu teori perilaku kesehatan yang dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1963, tidak saja memperhatikan faktor individual tetapi juga memperhatikan faktor sosial dan lingkungan. Menurut Bandura, perilaku seseorang dapat dijelaskan melalui hubungan tiga faktor yang satu sama lainnya saling menentukan (triadic reciprocity). Prinsip dasar dari teori ini adalah adanya pengaruh timbal balik (reciprocal determinism) pada tiga faktor yang ada, yaitu individu, lingkungan dan perilaku. Teori ini mencoba menggambarkan antara faktor pribadi, lingkungan dan perilaku mempunyai interaksi yang bersifat dinamis dan berkesinambungan dan juga bersifat timbal balik, dimana perubahan pada satu faktor akan mempengaruhi perubahan pada dua faktor lainnya.

Bandura menguraikan bahwa individu atau pribadi memiliki suatu kemampuan dasar manusiawi yang bersifat kognitif. Suatu pribadi akan memiliki karakteristik tertentu, antara lain aspek emosi, kemampuan bertindak, keyakinan, harapan, mengatur diri, kemampuan belajar, dan lain-lain. Sedangkan faktor lingkungan juga memiliki karakteristik tersendiri, seperti misalnya karakteristik fisik, sosial, budaya, politis.

2.3 Konsep Teori Sosial Kognitif

Michel (1973) dan Bandura (1977b, 1986) merumuskan sejumlah konsep teori sosial kognitif yang penting pada pemahaman dan intervensi dalam perilaku kesehatan.

Reciprocal Determinism

Pada teori sosial kognitif, perilaku bersifat dinamis. Tergantung pada aspek lingkungan dan manusia dimana semuanya saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi ini berlanjut antara karakteristik manusia, perilaku manusia dan lingkungan dimana perilaku ditunjukkan yang disebut pengaruh timbal balik (reciprocal determinism). Perilaku ini bukanlah hasil sederhana dari lingkungan dan manusia dimana lingkungan bukanlah hasil sederhana dari manusia dan perilaku. Bahkan, tiga komponen ini berinteraksi secara terus menerus. Sebuah perubahan pada satu komponen akan berakibat pada komponen lainnya (Bandura, 1978, 1986). Reciprocal determinism menjadi bagian dari prinsip atau postulate dari teori sosial kognitif.dan tidak diajukan untuk tes empiris.

Lingkungan dan Situasi

Istilah lingkungan berkenaan dengan sebuah gagasan objektif dari semua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang tetapi merupakan faktor eksternal. Contoh dari lingkungan sosial termasuk anggota keluarga, teman, rekan di tempat kerja atau di ruang kelas. Lingkungan fisik termasuk diantaranya ukuran ruangan, temperature sekitar atau tersedianya makanan tertentu. Istilah situasi berhubungan dengan kognitif atau mewakili keadaan mental dari lingkungan (seperti kenyataan, penyimpangan atau faktor imajinasi) yang mungkin mempengaruhi perilaku seseorang. Situasi ini merupakan tanggapan seseorang terhadap lingkungan dan termasuk juga tempat, waktu, ciri fisik, aktivitas, partisipan dan peran dirinya sendiri dalam situasi. Korespondensi dari konsep ini terhadap gagasan Lewin semasa hidupnya (1942-1951) atau ide microsystem Bronvenbrenner (1977). Lingkungan dan situasi memberikan suatu kerangka ekologis untuk pemahaman perilaku (Parraga 1990).

Di satu sisi, lingkungan dapat mempengaruhi perilaku tanpa disadari manusia (Moos, 1976). Sebagai contoh, jika buah-buahan dan sayur-sayuran segar banyak disukai disediakan dalam lingkungan anak-anak, anak-anak mungkin akan belajar memasukkan makanan itu pada menu sehari-harinya. Bagaimanapun, ketika seseorang tidak sadar memiliki kesempatan penting dalam lingkungan, pengaruh lingkungan terhadap perilaku akan terbatas secara korespondensi. Di sisi lain, keadaan ini memandu dan membatasi pikiran serta perilaku. Sebagai contoh, keadaan sosial dan keadaan fisik dapat memberikan isyarat mengenai jenis perilaku yang tepat (Rotter, 1955).

Karakteristik lingkungan biasanya merupakan hasil dari interaksi perilaku dan personal antar manusia. Pola kebiasaan interaksi antara anggota keluarga merupakan sebuah aspek dari lingkungan: emergeni family characteristics (Barranowski, 1996). Sebagai contoh, ketika kebiasaan interaksi keluarga diidentifikasikan sebagai konflik, jika dan bagaimana anggota keluarga mencari informasi atau bantuan dari orang lain akan berubah secara konstan dari interaksi sebagai bentuk dukungan. Dalam konsep ini, perilaku merupakan sebuah fungsi dari lingkungan yang anggota keluarga saling berbagi serta perilaku dan karakteristik personal mereka dimana semua fungsi berada diantara lingkungan yang luas. Oleh karena itu, pola makan anak-anak terhadap makanan tertentu merupakan bagian dari hasil pilihan anak-anak terhadap makanan tersebut (Domel dkk, 1993b), makanan yang tersedia dirumah dan cepat disajikan oleh orang tua (Iannotti, O’Brien, dan Spillman, 1994).

Lingkungan telah menjadi sesuatu yang penting dalam perubahan perilaku sehat. Kebijakan negara dan di tempat kerja mengenai larangan merokok telah ditingkatkan dalam hal pencegahan dan penghentian penggunaan rokok (Biener, Abrams, Follick, dan Dean, 1989). Tidak tersedianya makanan yang seharusnya ada dalam rumah membatasi peningkatan konsumsi mereka (Kirby dkk, 1995). Modifikasi makanan pada kantin sekolah meningkatkan konsumsi murid terhadap daging rendah kalori (Simons-Morton dkk, 1991). Tabel 1 mengidentifikasikan kategori umum dari lingkungan, kemungkinan besar karakteristik fisik dan sosial mereka, dan kategori penggambaran kesiapan dari pengaruh dalam perilaku sehat. Organisasi dan karakteristik suasana keluarga merupakan komponen-komponen yang kontekstual yang layak dimana pengaruh lain dapat mempengaruhi perilaku.

Observational Learning

Lingkungan merupakan bagian yang penting dalam teori sosial kognitif karena menyediakan models untuk perilaku. Seseorang dapat belajar dari orang lain tidak hanya dari menerima penguatan dari mereka tetapi juga pengamatan mereka. Observational learning terpikir ketika seseorang menyaksikan tindakan orang lain dan kekuatan yang diterima seseorang. Proses ini juga disebut penghargaan pada diri sendiri (vicarious reward) atau pengalaman diri sendiri (vicarious experience) (Bandura, 1972, 1986).

Observational learning merupakan pendekatan yang lebih efisien daripada operant learning untuk mempelajari perilaku yang kompleks. Pada pendekatan operant, seseorang harus memperlihatkan sebuah perilaku yang dikuatkan setelahnya. Melalui proses percobaan dan kesalahan, seseorang melanjutkan untuk memperlihatkan perilakunya yang mendekati sesuatu yang diinginkannya. Percobaan dan kesalahan adalah proses yang tidak efisien. Dalam observational learning, pengamat tidak perlu melalui proses yang membutuhkan waktu dan dalam keadaan yang tidak tentu. Bahkan, pelajar menemukan aturan yang mencatat perilaku lainnya dengan pengamatan dan kekuatan yang diterima pada perilaku mereka. Seseorang belajar dengan tepat dari pengamatan perilaku kesuksesan dan kesalahan orang lain. Banyak tipe dari perilaku yang dapat dipelajari selama observational learning (Bandura dan Walters, 1963; Bandura, 1972, 1986). Proses pencatatan ini untuk mengetahui pola perilaku umu yang dimiliki anggota keluarga. Anak-anak mengamati orang tua mereka ketika mereka makan, merokok, minum dan menggunakan sabuk pengaman, dan mereka melihat berbagai jenis penghargaan atau hukuman yang diberikan orang tua untuk aktivitas ini. Beberapa anak-anak mengamati anak-anak lain yang merokok di sekolah dan hukuman yang diterima perokok. Jika perokok mendapat respon dimana peneliti menyadari hukuman (dukungan dari teman sebaya atau gambaran yang diinginkan), pengamat menjadi lebih suka untuk merokok.

Behavioral Capability

Perilaku sangat kompleks dan dapat dilihat dari banyak level (Frederiksen, Martin, dan Webster, 1979), dari pemilihan makanan, memakan makanan yang spesifik, mengambil sejumlah makanan ke dalam mulut, sebagai contoh pendidik kesehatan harus menentukan dengan jelas perilaku target. Konsep behavioral capability menegaskan bahwa jika seseorang memperlihatkan satu perilaku khusus, dia harus tahu apakah perilaku ini (pengetahuan dari perilaku) dan bagaimana memperlihatkannya (keterampilan). Konsep behavioral capability membolehkan perbedaan antara belajar dan penampilan karena sebuah tugas dapat dipelajari tidak ditampilkan, sebaliknya menunjukkan pembelajaran. Behavioral capability merupakan hasil dari latihan individu, kemampuan kapasitas intelektual, dan gaya pembelajaran. Teknik kemampuan

disebut mastery learning yang memberikan pengetahuan kognitif dari apa yang ditampilkan, latihan untuk menampilkan suatu aktivitasnya dan umpan balik untuk mendapatkan penampilan yang baik sampai dengan orang tersebut menampilkan perilaku pada tingkat yang dapat diterima (Block, 1971).

Reinforcement

Reinforcement merupakan konsep utama dalam bentuk operant dari teori pembelajaran. Positif reinforcement atau penghargaan merupakaan respon perlaku seseorang yang meningkatkan kemungkinan dimana perilaku akan berulang. Dalam teori operant tradisional reinforcement bekerja dengan cara mekanisme yang tidak dikenal untuk mempengaruhi perilaku. Sebagai contoh, pemberian masukan yang positif (“Nice job!”) akan meningkatkan kemungkinan seseorang akan mengulangi perilaku yang baik, khususnya jika seseorang menilai opini komentator. Negatif reinforcement juga meningkatkan kemungkinan suatu perilaku tetapi melalui penarikan kembali stimulus negatif perilaku yang diingkan ditampilkan. Sebagai contoh, merokok merupakan penguatan negatif karena inhalasi nikotin memindahkan efek negatif (depresi, kegelisahan dan kemarahan), dan permohonan. Hukuman dapat mengurangi kemungkinan suatu perilaku akan ditampilkan dalam situasi dimana seseorang berharap menerima hukuman tetapi tidak dalam situasi yang lain. latihan diantara anak-anak obesitas akan meningkat dengan adanya perilaku penguat aktif pada perilaku sebelumnya (Epstein, Saelens, dan O’Brien, 1995).

Teori sosial kognitif terbagi dalam tiga tipe reinforcement, yaitu: penguat secara langsung (direct reinforcement, seperti dalam kondisi operan), penguatan yang dialami orang lain (vicarious reinforcement, seperti dalam observational learning), dan penguatan dari dalam diri sendiri (seperti dalam self-control). Selanjutnya, teori sosial kognitif membagi jenis-jenis reinforcement ke dalam reinforcement eksternal (atau ekstrinsik) dan reinforcement internal (atau intrinsik) (Lepper dan Green, 1978). Reinforcement eksternal adalah kejadian dari suatu peristiwa atau tindakan yang diketahui untuk memiliki nilai reinforcement yang dapat diramalkan. Reinforcement internal adalah pengalamanan pribadi seseorang atau persepsi dimana suatu peristiwa memiliki beberapa nilai. Reinforcement internal mencatat untuk perilaku yang tidak diperkuat secara eksternal atau bahkan negatif diperkuat secara eksternal. Sebagai contoh, seseorang memilih untuk mengembalikan uang kembalian $10 yang salah diterimanya, karena ini merupakan sesuatu tindakan yang benar, meskipun $10 ini dapat memenuhi beberapa keinginan pribadi, reinforcement eksternal. Program pendidikan yang pada hakekatnya memperkuat hasil di beberapa pembelajaran, ingatan, dan perhatian dalam pokok permasalahan (Lepper dan Cordova, 1992). Partisipan yang melaporkan bahwa jika motivasi intrinsik lebih tinggi daripada ekstrinsik maka kemungkinan besar akan lebih mudah menjauhi rokok (Curry, Wagner, dan Grothaus, 1990).

Perbedaan antara mekanisme hukuman terutama sekali penting dalam suatu istilah yang dikenal dengan overjustification effect. Jika seseorang diberikan hukuman untuk tugas yang menarik secara intrinsik, dia mungkin akan mengetahui bahwa tugas tersebut menjadi kurang menarik secara intrinsik di kemudian hari (Lepper dan Green, 1978). Oleh sebab itu, jika seseorang yang biasanya menyukai jogging dibayar untuk jogging selama seminggu, dia mungkin akan menyadari bahwa jogging menjadi tidak sama menyenangkannya lagi seperti sebelum pembayaran diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa paksaan eksternal membebankan pada perilaku yang mungkin mengurangi tingkat motivasi internal (Lepper dan Green, 1978). Pelaksanan dapat menggunakan hukuman eksternal untuk perilaku yang merupakan bagian dari program perubahan perilaku, sebagai contoh memelihara makanan sehari-hari dimana dapat dihentikan di akhir program sementara mereka menegaskan hukuman intrinsik dari perilaku berubah sengan sendirinya (Perry, 1988).

Outcome Expectation

Outcome expectation adalah aspek perilaku yang sudah ada lebih dulu dimana Bandura menyebutnya perilaku antecedent determinants. Seseorang belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu kemungkinan besar menimbulkan respon pada perilakunya dalam kondisi tertentu dan kemudian berharap terjadi ketika keadaan tersebut muncul lagi. Untuk perilaku yang tidak termasuk dalam kebiasaan, orang-orang mengantisipasi beberapa aspek dari keadaan dimana kemungkinan perilaku dilakukan, berkembang, dan pengujian strategi yang berhubungan dengan keadaan dan antisipasi apa yang akan mungkin terjadi sebagai hasil dari perilaku mereka pada keadaan tersebut. Pada keadaan seperti itu, orang-orang mengembangkan ekspektasinya mengenai keadaan dan ekspektasi untuk hasil dari perilaku mereka sebelum mereka benar-benar mengalami keadaan tersebut. Pada kasus yang paling banyak, perilaku yang sudah ada lebih dulu mengurangi kegelisahan mereka dan meningkatkan kemapuan mereka untuk mengendalikan situasi.

Ekspektasi dipelajari dalam empat cara:

- Pengalaman sebelumnya dalam situasi yang hampir sama (performing attainment)

- Observasi lain dalam situasi yang hampir sama (vicarious experience)

- Mendengar situasi yang hampir sama dari orang lain atau kepercayaan sosial

- Respon emosional atau psikologi perilaku (physiological arousal)

Pencegahan merokok pada remaja memberikan contoh bagaimana ekspektasi dapat berkembang dan berubah. Secara umum, remaja belajar menduga-duga dari iklan, kawan orang yang lebih tua darinya, atau mencontoh dari peranan orang dewasa bahwa merokok dapat menjadi menyenangkan atau pengalaman yang menarik atau dia dapat mencapai kedewasaan atau bahkan penampilan yang lebih menarik dengan merokok. Pendekatan ini telah berhasil dalam menangulangi bahaya merokok (Flay, 1985). Hal ini berhasil karena konsekuensi sosial negatif (akibat negatif ekspektasi) untuk remaja yang lebih muda, hal ini telah berubah.

Outcome Expectancies

Outcome expectancies (disebut incentives oleh Bandura, 1997b, 1996) berbeda dengan harapan (expectation) dimana ekspetasi (expectancies) merupakan nilai dimana seseorang bertempat pada hasil tertentu. Ekspetasi memiliki besaran, nilai kuantitatif bisa positif atau negatif dan biasanya mewakili dalam suatu rangkaian dari -1 sampai +1. Ekspektasi mempengaruhi perilaku menurut pada prinsip hedonic, yaitu jika semua barang adalah sama, seseorang akan memilih untuk melakukan aktivitas yang maksimum hasilnya positif atau minimal hasilnya negatif. Mischel (1973) mengusulkan bahwa ekspektasi menjelaskan kondisi klasik. Sebagai contoh, ketika mengajar kemampuan mengurangi berat badan pada orang dewasa yang kelebihan berat badan, salah satunya mungkin dibutuhkan untuk menolong orang tersebut menggantikan hasil positif dari komsumsi makanan dengan hasil yang negatif.

Harapan positif seseorang akan bisa menafsirkan secepatnya dalam beberapa proyek membentuk perubahan dalam perilaku sehat, agar dapat mengidentifikasi motivator untuk perilaku tersebut. Beberapa peneliti telah mengobservasi, sebagai contoh , seseorang akan lebih menyukai untuk menyewa dalam kativitas fisik untuk menghasilkan keuntungan yang sementara (menjadi lebih baik, kompetitif dengan teman dalam tennis) dibandingan dengan menghasilkan penambahan dalam jangka panjang (sebagai contoh, menghindar dari serangan jantung selama 30 tahun dari sekarang). McAlister (1980) menunjukkan bahwa program pencegahan merokok bagi remaja lebih berhasil jika mereka mengemukakan efek negatif dari rokok secara serta merta, seperti sulit bernapas dibandingan dengan efek jangka panjang, seperti kesaitan dan kematian akibat kanker dan penyakit hati. Oleh sebab itu, penekanan secara serta merta akan lebih mempengaruhi terhadap perilaku dibandingkan dengan penekanan dalam jangka yang lama.

Self-Efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan seseorang dalam melakukan suatu kegiatan tertentu, termasuk keyakinan dalam mengatasi masalah saat melakukan tindakan. Bandura mengemukakan bahwa self-efficacy adalah prasyarat yang paling penting dalam perubahan perilaku karena hal ini mempengaruhi seberapa besar usaha yang dilakukan dalam suatu tugas dan pada tingkat berapa suatu tindakan dapat dicapai (Erwart, Taylor, Reese, dan Debusk, 1983). Self-efficacy merupakan suatu peramal utama dalam pemilihan makanan sehat antara anak-anak kelas 3 dan 4 (Parcel dan lain-lain, 1995).

Tehnik observasional dan interactive learning dapat digunakan dalam memperkenalkan dan mempromosikan setiap rangkaian perilaku target (Badura, 1986). Pengulangan tindakan dalam suatu tugas tunggal membangun self-efficacy seseorang dengan terjadinya perubahan tindakan ekspetasi seseorang. Sebagai contoh, ahli kesehatan yang melatih penderita diabetes untuk melakukan sendiri injeksi insulin. Proses penginjeksian insulin terbagi dalam sejumlah tahapan-tahapan kecil dimana setiap individu dapat belajar secara berulang-ulang (contohnya, mengisi suntikan dengan jumlah insulin yang tepat, memastikan bahwa semua alat steril, melihat bahwa tidak ada gelembung yang masuk ke dalam suntikan, dan memastikan bahwa cairan tepat pada tanda dalam suntikan). Kemudahan setiap tahapan dan keikutsertaan individu dalam berlatih pada setiap tahapan secara terpisah disertai beberapa pengulangan tindakan, memungkinkan mereka untuk membentuk self-efficacy hampir di setiap tahapan. Ketika seseorang memiliki keyakinan di setiap tahapan, mereka akan menempatkan setiap tahapan secara bersama-sama dan membangun self-efficacy hampir di seluruh kegiatan. Pengukuran self-efficacy harus lebih spesifik pada perilaku target serta dalam menghadapi masalah yang berdasarkan pada pemahaman dan kemampuan target pendengar dan anggota pendengar (Maibach dan Murphy, 1995).

Self-Control of Performance

Istilah performance berkenaan tentang perilaku manusia yang berfokus pada pencapaian sebuah tujuan. Salah satu tujuan dari pendidikan kesehatan adalah mengarahkan tindakan perilaku sehat agar dapat dikendalikan oleh individu. Bandura (1991) mengemukakan bahwa sistem self-control memiliki beberapa komponen subfungsi.

Subfungsi ini mencakup:

- Pemantauan terhadap salah satu perilaku yang dimiliki dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta efeknya

- Perbandingan perilaku dan hasilnya terhadap standar pribadi, khususnya tujuan-tujuan pribadi

- Penghargaan diri sendiri, khususnya kecenderungan reaksi diri sendiri

Self-efficacy memiliki peranan penting dalam self-control dimana mempengaruhi pemilihan seseorang dalam perubahan perilaku secara luas dan kebiasaannya membentuk keyakinan dalam aturannya sendiri. Pengaturan dalam standar suatu tindakan atau tujuan, kemungkinan merupakan faktor yang paling penting. Self-control dapat meningkat dengan memfokuskannya dalam suatu jenis perilaku yang spesifik. Dalam program pengaturan berat badan, sebagai contoh, seseorang yang ingin mengurangi makanan yang manis-manis akan menunjukkan hasil observasi yang samar-samar karena ada kemungkinan seseorang dalam program tersebut menjadi bingung mengenai tujuan sesungguhnya atau hanya ada sedikit perubahan tetapi tidak menjadi pengurangan berat badan. Seseorang dapat mengurangi makanan yang manis-manis dengan melakukan program makan kue 8 buah dibandingan dengan memakan 11 kue sehari.

Management of Emosianal Arousal

Bandura (1977b) mengakui bahwa timbulnya emosi yang berlebih menghambat pembelajaran dan penampilan, dan dia mengusulkan stimulus tertentu memberikan peningkatan pada pemikiran ketakutan yang berlebih (stimulus-outcome-expectancies). Pikiran takut yang berlebih ini mengakibatkan timbulnya emosi dan perilaku bertahan yang cepat. Perilaku bertahan berhubungan secara efektif dengan stimulus, sehigga adanya penurunan rasa ketakutan, kegelisahan, permusuhan, atau emosi.

Kategori dari mnajemen perilaku untuk emosi dan psikologi diidentifikasi oleh Moos (1976). Salah satu kategrori termasuk psikologi bertahan (penolakan, penekanan, dan sublimasi). Kategori yang lain termasuk di dalamnya beberapa tehnik kognitif, seperti merestrukturisasi masalah. Kategori ketiga, yaitu tehnik manajemen stress (relaksasi atau olah raga) dimana merawat gejala penderitaan secara emosional. Kategori keempat termasuk metode-metode penyelesaian masalah secara efektif (klarifikasi masalah dan identifikasi, seleksi, dan implementasi solusi yang dapat mengakibatkan timbulnya emosi). Konsep dan metode teori sosial kognitif biasanya direalisasikan untuk mempelajari kemampuan manajemen perilaku tersebut.

Meskipun banyak program menggunakan strategi manajemen perilaku, strategi ini berbeda berdasarkan individu dan budayanya(Diaz-Guerrero, 1979). Sebagai contoh, beberapa orang yang mengalami kelebihan berat badan menemukan bahwa sulit untuk menolak atau menahan kondisi mereka. Orang-orang sering bereaksi negatif pada orang yang kelebihan berat badan, dan reaksi ini dapat meningkatkan kegelisahan mengenai kelebihan berat badan (Hudson dan William, 1981). Untuk orang yang obesitas, kegelisahan ini mengakibatkan reaksi yang berlebihan di kemudian hari (Slochower dan Kaplan, 1980). Kegelisahan yang tinggi juga dapat membuat hal ini sulit bagi orang tersebut untuk menghadiri pesan kesehatan dari ahli kesehatan (Ley dan Spelman, 1965). Oleh karena itu, pendidik kesehatan dan sarjana jurusan perilaku dapat membantu orang belajar metode yang membantu meminimalisasi timbulnya emosi sebelum mereka menolong mereka merubah perilaku mereka atau menunda intervensi sampai dengan kegelisahan mereda.

Reciprocal Determinism Revisited

Ini merupakan pembelajaran untuk mengembalikan pada konsep pengaruh timbal balik (resiprocal determinism) dan mengujinya dalam keterangan konsep komponen teori kognitif sosial. Jika karakteristik seseorang, lingkungan, atau perilaku berubah, situasi berubah, dan perilaku, situasi, dan orang-orang dievaluasi ulang. Sebagai contoh, seorang pria mungkin akan sangat menentang dimana temannya datang untuk membujuknya agar tetap pada pola hidupnya yang sekarang. Pria memiliki ekspektasi yang kuat mengenai olag raga untuk menghindar dari lingkungan fisik atau sosial yang mana dia terima dari berolah raga (seperti gym atau lapangan). Di satu sisi, peristiwa yang dramatis (seperti, kematian salah seorang saudara terdekat akibat serangan jantung dan mendapatkan informasi bahwa serangan jantung dapat diakibatkan oleh pola hidup tetap) dapat terjadi pada kehidupan pria ini dan membuatnya memilih untuk mulai berolag raga. Bagaimanapun, pria akan menghadapi bujukan dari temannya yang dapat menekannya untuk tidak berolah raga. Untuk menghindari tekanan negatif ini, dia dapat melihat teman barunya (lingkungan sosial yang baru) yang menghargai dan mendukung perilaku barunya (pengaruh timbal balik). Perubahan ini, selanjutnya dapat memotivasi teman untuk mulai berolah raga sebaik mungkin (pengaruh timbal balik pada teman tersebut) dan teman tersebut kemudian juga akan merubah kebiasaan berolah raga dari teman-temannya yang lain atau membutuhkan teman-teman baru yang tertarik dengan olah raga.

Perubahan perilaku yang seperti ini menegaskan bagaimana pentingnya hal ini bagi para ahli untuk menghindari kesederhanaan pemikiran dari single direction of change. Pengaruh timbal balik dapat berguna dalam mengembangkan program yang tidak berfokus pada perilaku dalam keterpencilan tetapi fokus pada perubahan dalam lingkungan dan bahkan dalam individu. Program promosi kesehatan yang baru-baru ini berdasarkan pada teori sosial kognitif termasuk di dalamnya lingkungan dan perubahan individu yang merupakan Child and Adolescent Trial for Cardiovascular Health (CATCH), yang mana dibentuk untuk memperbaiki nutrisi dan perilaku aktivitas fisik. Pada percobaan yang multicenter, intervensi untuk anak-anak sekolah tingkat 3 sampai 5 diuji pengaruh mereka terhadap faktor perubahan kognitif sampai dengan pedoman dalam kelas dan perubahan lingkungan. Intervensi memodifikasi progran pelayanan makanan dan program pendidikan fisik dan diperkirakan dalam pengaruh timbal balik, menunjukkan kemampuan berperilaku, self-efficacy, dan sikap menghargai dalam ruangan kelas. Mereka menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk berlatih perilaku baru dalam kantin sekolah dan dalam pendidikan fisik dan menyediakan reinforcement dari sisi yang penting lainnya pada lingkungan anak (guru dan orang tua). Evaluasi mengindikasi perubahan yang signifikan pada komponen–komponen kognitif, kondisi lingkungan, dan nutrisi dan perilakuaktivitas fisik (Leupker, 1996; Edmundson)



BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengan mendampingi perhatian pada aspek lingkungan, personal, dan behavior, Teori Sosial Kognitif memberika kerangka untuk perancangan dan mengimplementasian program perubahan perilaku yang komprehensif.

Teori Sosial Kognitif menarik untuk program pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan karena tidak hanya menjelaskan dinamika perilaku individu tapi juga memberikan petunjuk untung merancang strategi intervensi yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku. Perhatian yang besar sekarang ini ditujukan pada kepentingan multikomponen pada intervensi dalam rangka mengembangkan program promosi kesehatan. Belakangan ini, intervensi tidak hanya ditujukan pada perubahan perilaku dalam tingkat individu tetapi juga perubahan dalam lingkungan yang mendukung perubahan perilaku (Simon-Morton, dll, 1991). Teori Sosial Kognitif diaplikasikan pada strategi perubahan multilevel karena teori ini memasukkan konsep lingkungan, personal, dan juga behavioral.

Teori Sosial Kognitif merupakan teori yang kuat yang dapat diaplikasikan pada kegiatan pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan. Akan tetapi, terkadang ketidak tepatan aplikasinya dikarenakan metode intervensi yang terlalu sederhana atau mengambil dari konsep tunggal, tidak mengaplikasikan teori secara utuh. Untuk mencegah kesalahan semacam itu, pembuat intervensi harus menentukan dengan jelas behavioral outcome yang diinginkan dan kemudian mengidentifikasi variabel Teori Sosial Kognitif yang paling banyak mempengaruhi tiap-tiap perilaku. Metode intervensi Teori Sosial Kognitif dapat dipasangkan dengan variabel taget Teori Sosial Kognitif. Evaluasi program berdasarkan Teori Sosial Kognitif harus menggunakan pengukuran yang relevan terhadap konsep teori tersebut untuk meyakinkan bahwa intervensi telah mendapatkan efek yang diinginkan dan agar pembuat rencana dapat mengetahui komponen apa saja yang dapat mereka perbaiki.

3.2 Saran

Setiap teori pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan Social Cognitive Theory ini. Kami menyarankan untuk menggunakan beberapa teori dalam analisis perilaku, hal ini dimaksudkan agar jika dalam satu teori tidak dapat menjelaskan perilaku tersebut dapat digunakan teori yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

http://pro-ibid.com

http://elearning-po.unp.ac.id


Diposting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes depkes Yogyakarta Jurusan kesehatan lingkungan
Occupational health and Safety, university of Indonesia
munggu, Petanahan, kebumen