Kamis, 24 Juli 2008

Take It Or Lose It


Gambar saya saat studi banding di surabaya


Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang.

Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. "Silahkan ambil satu!" demikian instruksi yang saya berikan.

Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut.

Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Lalu saya katakana kepada mereka, "inilah hidup. Anda ambil kesempatan yang tersedia atau Anda akan kehilangan kesempatan itu. Anda tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya".

Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang `wajib' memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.

Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. "Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!" Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, terdapat kemungkinan kehabisan rezeki.

Contoh kecil, datanglah terlambat dari jam kantor Anda yang semestinya. Perusahaan tidak hanya akan mengurangi gaji Anda akibat keterlambatan Anda, bahkan kinerja Anda dianggap minus dan itu mempengaruhi penilaian perusahaan terhadap Anda. Bisa jadi Anda tidak mendapatkan promosi tahun ini, sementara rekan Anda yang tak pernah terlambat lebih berpeluang.

Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, "Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya" atau "Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu". Kepadanya saya katakan, saya yakin Anda bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat Anda terus berbicara dan tak melakukan apa pun. Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika Anda sanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat Anda diakui keberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya.

Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri. Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada Anda. Karena suka mungkin saja awal dari cinta. Semoga.

Bayu Gautama


Mengapa Harus Salafi ?


fotoku saat pernikahan maz agus keperawatan, dari kiri Maz Hendi, dan sebelah kanan De Aam Gizi



Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


MUQADIMAH

Masih banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu Salafi, dan mengapa harus Salafi ? Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata Salafi menunjukkan sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta'assub terhadap kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam.

Benarkah persangkaan tersebut...?! Di bawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya'ban 1414H dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 09/th.III/1419H-1999. Mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada beliau, tidak jauh berbeda dengan permasalahan di atas.

MENGAPA HARUS SALAFI..?

Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut:

"Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk dakwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?"

Jawaban beliau adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya kata "As-Salaf" sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari'atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu 'anha :

"Artinya : Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik "As-Salaf" bagimu adalah Aku".

Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah "As-Salaf". Satu contoh penggunaan "As-Salaf" yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid'ah :

"Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf".

"Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf".

Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : "Seorang muslim tidak boleh mengatakan "saya seorang salafi". Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq".

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya".
(Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).

Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara') dari penyandaran kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..? Bisa jadi ia seorang Asy'ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi'i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama'ah.

Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy'ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar.

Mengapa penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?

Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah 'Azza wa Jalla.

Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju "Firqah Najiyah". Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :

  • Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
  • Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.

Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya.

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan ISHMAH ( terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Mengapa sandaran terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah belum cukup ..?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar'i dan fenomena Jama'ah Islamiyah yang ada.

Berkenan dengan sebab pertama.


Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta'ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah :

"Artinya : Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian".
(An-Nisaa : 59).

Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu :

"Artinya : Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik". (Lihat As-Shahihah No. 179).

"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (An-Nisaa : 115).

Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL MU'MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa'at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba' kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.

Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman :

"Artinya : Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar". (At-Taubah : 119).

Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

Adapun berkenan dengan sebab kedua.
Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits.

Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu.

Rasul mendeskripsikannya sebagai :

"Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini".

Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat :

"Artinya : Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku".

Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.

Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata : "Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk Salafus As-Shalih".

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan : "Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian, baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lainnya. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..?

Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba' terhadap keduanya.

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : "Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf", atau disingkat "Saya Salafi".

Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup.

Kita paham para sahabat tidak berta'ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba' kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan.

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar'i dan salah ..!?.

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta'in.

Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta'assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Wallahu Waliyyut-Taufiq.

h

Selasa, 22 Juli 2008

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Teman-teman SKI dan Alumnus Saat Pernikahan Maz Agus Jurusan Keperawatan




Pengertian Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan mulai tampak di sekitar dekade 70-an dan kemudian berkembang terus sepanjang dekade 80-an dan sampai saat ini. Konsep pemberdayaan merupakan ide yang menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri. Berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan :

1. Proses kecenderungan primer dari makna pemberdayaan yaitu proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi.

2. Proses kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Pembagian proses kecenderungan di atas tidaklah kaku, keduanya bisa saling terkait. Kecenderungan primer dapat terwujud seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

Pemberdayaan mempunyai makna harfiah membuat (seseorang) berdaya. Istilah lain untuk pemberdayaan adalah penguatan (empowerment). Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan dalam arti mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Dalam pemberdayaan terkandung unsur pengakuan dan penguatan posisi seseorang melalui penegasan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki dalam seluruh tatanan kehidupan. Dalam proses pemberdayaan diusahakan agar orang berani menyuarakan dan memperjuangkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban. Pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan.

-2-

Pengertian Pemberdayaan di Bidang Kesehatan

Dalam promosi kesehatan, pemberdayaan didefinisikan sebagai proses yang mengantarkan masyarakat dalam mendapatkan kemampuan mengendalikan keputusan dan tindakannya dalam kesehatan. Pemberdayaan dapat merupakan proses sosial, budaya, psikologis atau politis yang membuat masyarakat dapat mengungkapkan kebutuhan, keinginan, memikirkan strategi untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, dan melakukan aksi politis, sosial dan budaya untuk kepentingan kebutuhannya.

Promosi kesehatan bukan hanya meliputi upaya memperkuat kemampuan dasar hidup dan kapasitas individu, tetapi juga mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik yang berdampak pada kesehatan. Dalam hal ini, pemberdayaan dibedakan menjadi pemberdayaan individu (merujuk pada kemampuan individu untuk membuat keputusan dan mengendalikan hidupnya) dan pemberdayaan komunitas (Merujuk pada keterlibatan individu dalam melakukan upaya kolektif mengendalikan determinan kesehatan dan kualitas hidup dalam komunitasnya).

-3-

Penggunaan Konsep Pemberdayaan

dalam Pembangunan Kesehatan

Beberapa program pemerintah di bidang kesehatan juga menggunakan konsep pemberdayaan, seperti Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 yang menetapkan 4 dasar-dasar pembangunan kesehatan yang merupakan landasan dalam penyusunan visi, misi dan strategi serta sebagai petunjuk pokok pelaksanaan pembangunan kesehatan secara nasional, yaitu:

1. Perikemanusiaan

2. Pemberdayaan dan kemandirian

3. Adil dan merata

4. Pengutamaan dan manfaat

Yang dimaksud pemberdayaan dan kemandirian adalah setiap orang dan juga masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat beserta lingkungannya. Setiap upaya kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran serta masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.

Deklarasi Jakarta tentang Promosi Kesehatan abad 21 menjelaskan beberapa prioritas promosi kesehatan abad ke-21 meliputi:

1. Meningkatkan tanggung jawab sosial dalam kesehatan

2. Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan

3. Meningkatkan kemitraan untuk kesehatan

4. Meningkatkan kemampuan perorangan dan memberdayakan masyarakat

5. Mengembangkan infrastruktur untuk promosi kesehatan

Pemahaman tentang memberdayakan masyarakat ini adalah dengan memberikan pendidikan praktis, latihan kepemimpinan dan akses ke sumber-sumber daya dan dilaksanakan oleh dan dengan masyarakat.

Konsep pemberdayaan dalam pembangunan kesehatan di naskah di atas sebetulnya hampir sama, yaitu melibatkan peran serta masyarakat bersama dengan pemerintah dengan berbagai metode pemberdayaan (pelatihan dan pendidikan) sebagai upaya menciptakan masyarakat yang mampu mempengaruhi determinan kesehatan.

-4-

Implementasi Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan

Konsep pemberdayaan masyarakat –dalam hal ini mewujudkan masyarakat yang mempunyai kesadaran terhadap hak dan kewajibannya- bukanlah hal yang mudah diimplementasikan. Pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberdayakan masyarakatnya, belum menjalankannya dengan baik, sehingga sampai saat ini masih banyak masyarakat yang justru tidak berdaya. Lembaga-lembaga non pemerintah -seperti LSM, Institusi pendidikan- banyak pula yang melakukan upaya pemberdayaan ini.

Berikut beberapa metode pemberdayaan masyarakat yang ada di masyarakat.

1. Advokasi

- Advokasi berasal dari „Advocacy“ (bahasa Inggris) yang berarti pembelaan, dukungan, anjuran.

- Advokasi adalah usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan sistematis dalam kebijakan tertentu, regulasi atau pelaksanaannya.

- Advokasi adalah upaya untuk memperbaiki atau merubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut.

Contoh: Udara Jogja saat ini sudah tidak lagi bersih dan sehat, akibat polusi. Berbagai kalangan sudah menyatakan keprihatinan. Sehingga berbagai upaya dilakukan agar pemerintah Jogja membuat regulasi untuk mengurangi polusi udara. Kemudian dilakukan penelitian-penelitian untuk membuktikan dan memberikan data ilmiah tentang kondisi udara Jogja. Data-data tersebut dijadikan dasar untuk mendesak lembaga eksekutif dan legislatif Jogja untuk mengeluarkan regulasi-regulasi tentang emisi gas buang kendaraan bermotor, larangan merokok di ruang publik. Kampanye udara bersih juga dilakukan oleh berbagai kalangan.

Gambar di bawah ini menjelaskan secara skematis upaya advokasi dalam mencapai tujuan berupa kebijakan publik.

-

2. Pendampingan (support group)

Pemberdayaan dengan metode pendampingan memerlukan tiga kondisi yang perlu ada agar terbangun atau terlaksana kegiatan yang bersifat memberdayakan. Ketiga kondisi tersebut meliputi:

a. Pertemanan adalah bersikap dan berperilaku sebagai teman dan tidak judgemental terhadap kelompok sasaran.

b. Kesetaraan adalah menempatkan diri sama dengan kelompok sasaran (tidak ada sub-ordinasi)

c. Partisipasi adalah melibatkan kelompok sasaran mulai dari perencanaan sampai evaluasi kegiatan.

Contoh: Akhir-akhir ini di Yogyakarta terjadi peningkatkan kasus HIV/AIDS yang cenderung naik di kelompok homoseksual. Untuk mencegah agar prevalensi ini tidak bertambah naik maka pemerintah melakukan program pendampingan dengan program promosi kesehatan pada homoseksual. Program pendampingan ini juga mengkampanyekan tentang pentingnya kesadaran untuk melakukan voluntary counselling test (VCT) di laboratorium jika merasa telah melakukan perilaku seks beresiko dan berganti-ganti pasangan. Program pendampingan akan lebih efektif jika disertai dengan pembagian media promosi kesehatan (buklet, leaflet, poster) dan penjelasan tentang penyakit HIV/AIDS dan infeksi menular seksual. Idealnya kegiatan pendampingan dilakukan secara rutin seminggu 2 kali rutin dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan atau sampai kelompok sasaran tersebut mandiri/berdaya (tidak perlu didampingi lagi). Prinsip pertemanan, kesetaraan dan partisipasi harus selalu dimiliki oleh petugas lapangan di bidang pendampingan. Program pendampingan ini dapat dikatakan berhasil apabila prevalensi HIV/AIDS di kelompok homoseksual turun.

3. Pendidikan

3.1. Pendidikan Formal

Pendidikan pada hakikatnya berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia baik individu maupun sosial. Dengan kata lain pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat guna menghadapi masa depan. Proses pemberdayaan di bidang pendidikan merupakan pendekatan holistik yang meliputi pemberdayaan sumber daya manusia, sistem belajar mengajar, institusi atau lembaga pendidikan dengan segala sarana dan prasarana pendukungnya.

Keberhasilan pendidikan sebagai proses pemberdayaan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas pendidikan nasional, seperti kualitas guru (pendidik), relevansi dan kompetensi kurikulum, pemerataan kesempatan, dan efisiensi biaya pendidikan.

3.2. Pendidikan Informal

Pemberdayaan diartikan sebagai proses belajar mengajar yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan baik bagi individu maupun komunitas, guna mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan untuk melakukan transformasi sosial. Hal ini sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup. Kehidupan bermasyarakat perlu dikondisikan sebagai sebuah wadah di mana setiap anggotanya melalui aktivitas sehari-hari saling belajar dan mengajar. Proses interaksi sosial ini akan membuat petukaran informasi dan pengetahuan terjadi, dan mendorong setiap anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.

Uraian ketiga contoh di atas masih merupakan bagian kecil dari kegiatan pemberdayaan masyarakat yang merupakan kegiatan panjang dan memerlukan perencanaan matang karena pada praktek di lapangan banyak kendala tak terduga yang harus segera diatasi. Metode di atas juga dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan karena bersifat fleksibel. Yang terpenting dari proses ini menjadikan sasaran paham terhadap kebutuhan dan hak-haknya yang terlanggar oleh negara dan mampu menentukan sikap atau pilihan yang sehat. Oleh karena itu pemberdayaan harus berangkat dari adanya data empiris tentang kondisi di lapangan sehingga program yang dibuat merupakan program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Partisipasi aktif dari kelompok sasaran mulai dari awal sampai akhir program serta kerjasama dengan berbagai pihak merupakan salah satu elemen yang akan banyak membantu terlaksananya tujuan program pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Mikkelsen, B. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 1997. Deklarasi Jakarta tentang Promosi Kesehatan Abad 21. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

______________________. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta.

Mulandar, S. (penyunting). 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal. Yayasan AKATIGA dan Gugus Analisis. Bandung.

Prijono,O.S., Pranarka,A.M.W. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.

Scortiano, R. 1999. Menuju Kesehatan Madani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Topatimasang, R., Fakih,M., Rahardjo,T. (penyunting). 2000. Merubah Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


[1] Indana Laazulva, S.IP, M.Kes – Provincial Coordinator for HIV/AIDS Program - UNFPA