Rabu, 19 November 2008

Keberpasangan: dari Teori Fisika, Ayat Al Quran dan Alkitab

Gambar saya saat Di Pantai Karang Bolong

Keberpasangan: dari Teori Fisika, Ayat Al Quran dan Alkitab

Selasa, 18 Nopember, 2008 oleh Jaki Umam


(Ditujukan kepada Dr. Laksana Tri Handoko dan Dr. Terry Mart)


Suatu hari, tanpa arah dan tujuan, saya jalan-jalan di Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saya menyusuri gang demi gang mal yang luar biasa besar tersebut. Sewaktu saya lewat di depan sebuah stand pakaian, seorang cewek tiba-tiba menabrak bahu saya. Sontak saya kaget, dan dengan lemah-lembut dia mengatakan: “Eh, maaf yach mas!”. Namun setelah itu, seorang cowok kekar di sampingnya tiba-tiba mengumbar pandangan yang penuh amarah, dan dengan nada sangat maskulin ala Elmanik baru bangun tidur berucap: “Jangan macam-macam, mas!”. Hampir saja kepalan tangannya mendarat di muka saya. Untungnya si cewek buru-buru meredam amarahnya: “Sudahlah Lex, itu salah saya!” (mungkin namanya Alex).

Sepintas insiden itu bukanlah hal yang luar biasa. Namun setelah saya perhatikan, ada rahasia tersembunyi di balik itu. Setelah kejadian itu, sebuah pertanyaan sering mengganggu: “Mengapa ada karakter yang sangat bertolak belakang antara laki-laki dan perempuan?”. Beberapa pekan kemudian, saya membaca Alquran dan menemukan ayat: “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa-apa yang tidak mereka ketahui (QS. 36:36)”. Terinspirasi ayat tersebut, pikiran saya memunculkan sebuah asumsi bahwa keberpasangan adalah prinsip fundamental yang mendasari semua hal. Bagaimana caranya?

Pola keberpasangan terlihat sangat indah dan teratur. Setiap kasus keberpasangan selalu melibatkan dua objek dengan sifat-sifat alami yang saling bertolak belakang. Ini hukum alam. Kalau selama ini saya bertanya, mengapa laki-laki cenderung maskulin sedangkan perempuan cenderung feminim? Atau pertanyaan, mengapa orang suka terhadap yang baik-baik sedangkan yang buruk-buruk selalu dibenci? Setidaknya hal itu telah dijawab oleh keberpasangan.

Eksistensi

Bayangkan kalau tidak ada yang namanya ‘tidak ada’, pasti sesuatu yang namanya ‘ada’ juga tak akan pernah ada, dan begitupun sebaliknya. Kalau tidak ada orang ‘jahat’, mestinya tidak ada juga orang yang disebut ‘baik’, begitu juga sebaliknya. Kalau tidak ada jenis kelamin ‘laki-laki’, tentu yang namanya ‘perempuan’ juga tak akan pernah dikenal, begitu pun sebaliknya. Semua hal akan didapatkan selalu dengan pasangannya, karena eksistensi sesuatu adalah satu-satunya pembanding dari eksistensi pasangannya. Dengan kata lain, keberpasangan akan selalu muncul sebagai kebutuhan akan pembanding keberadaan suatu objek.

Bahkan dari permulaan munculnya, ilmu pengetahuan telah sangat akrab dengan kasus-kasus keberpasangan. Dalam kelas biologi telah dikenal model materi kehidupan elementer yang penuh dengan pasangan-pasangan basa Nitrogen. Dalam kelas kimia juga telah didapatkan reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Dan kasus yang paling banyak ditemui adalah dalam kelas fisika: spin atas dan spin bawah, materi dan anti-materi, muatan positif dan muatan negatif, gaya tarik dan gaya tolak, gelombang dan partikel, dan sebagainya.

Dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan mengenai tafsir dari QS. 36:36. Sebagian ulama menyatakan bahwa makna ‘pasangan’ dalam ayat itu hanya berlaku pada makhluk hidup saja. Namun Dr. Quraisy Shihab tak begitu sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurutnya, pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, tidak cocok dengan maksud sekian banyak ayat Alquran, dan berbagai kenyataan ilmiah yang ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata azwaj (pasang-pasangan) adalah bentuk jamak dari kata zauj (pasangan). Menurut pakar kebahasaan, Ar-Raghib Al-Ashfahain, kata ini digunakan untuk masing-masing dua hal yang berdampingan atau bersamaan, misalnya jantan dan betina. Kata itu juga digunakan untuk menunjuk hal yang sama bagi selain binatang, seperti alas kaki. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga karena bertolakbelakang. Ayat-ayat Alquran yang lain pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum, bukan hanya untuk makhluk hidup, misalnya pada Alquran 51:49. Dari sini ada siang ada malam, senang-susah, atas-bawah, dan seterusnya. Semua hal (maksudnya makhluk) memiliki pasangannya, hanya Allah saja yang tidak berpasangan, tidak ada pula yang sama dengan Dia. Dari segi ilmiah, misalnya terbukti bahwa muatan listrik pun berpasangan: positif dan negatif. Demikian juga dengan atom, yang tadinya diduga sebagai unit terkecil dan tidak dapat dibagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari proton dan elektron.1

Premis Lugas

QS. 36:36 mengandung premis yang sangat lugas (eksplisit). Kelugasan ini menjadi penuh resiko manakala ia mencuatkan implikasi yang tidak main-main. Kalau betul-betul ada ‘sesuatu’, dalam teks dan konteks apapun, yang tidak ada pasangannya, tentu itu tidak diperbolehkan. Kalaupun itu memang ada, maka itu akan menjadi alasan yang sangat kuat untuk mencoret Alquran dari daftar kitab suci. Oleh karena itu, ayat tersebut harus memiliki implikasi ilmiah, bahwa keberpasangan adalah sifat mendasar yang melandasi semua hal di semesta. Ayat ini bisa diuji, misalnya dengan asumsi bahwa keberpasangan merupakan prinsip fundamental dalam fisika.

Suatu ketika Einstein duduk di sebuah gerbong kereta api di samping jendela. Ketika kereta mulai melaju, beliau dengan sangat meyakinkan merasakan bahwa kereta itu sedang bergerak. Di tengah-tengah perjalanan, ketika kecepatan kereta optimum tanpa akselerasi, Einstein melihat pohon-pohon di luar jendela. Beliau melihat pepohonan yang ada di samping rel seolah-olah bergerak menjauhi kereta. Andai saja gerbong yang beliau tumpangi sama sekali tertutup, dan hanya menyisakan sejumlah kecil spasi untuk jendela, tentu beliau akan kesulitan membedakan sebetulnya siapa yang sedang bergerak: kereta yang ditumpanginya atau pohon-pohon itu? Itulah fenomena relativitas.2

Fenomena relativitas telah diteliti dengan seksama oleh Newton. Mekanika yang dikembangkannya berangkat dari asumsi bahwa ruang dan waktu bersifat terpisah dan absolut—tak perlu kerangka acuan untuk mengukurnya. Einstein melihat ada kejanggalan dalam konsep Newton. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum Einstein memahami kejanggalan itu.

Dalam tahun 1905, keraguan dramatis atas keabsolutan ruang dan waktu diungkapkan Einstein. Perhitungan Einstein menjungkirbalikkan anggapan dasar tentang eksistensi ruang dan waktu. Satu hal beliau garisbawahi bahwa setiap gerak di bagian manapun di semesta ini adalah relatif. Maksudnya, pergerakan benda tidak bisa didefinisikan tanpa adanya kerangka acuan untuk mengukurnya. Misalnya perumpamaan gerbong kereta api di atas. Anda tidak akan pernah bisa membedakan sebenarnya siapa yang sedang bergerak, kereta yang Anda tumpangi atau pohon-pohon yang ada di sisi rel, seandainya saat itu Anda sedang berada di situ. Anda akan tahu yang sebenarnya terjadi kalau Anda berada di luar sistem, misalnya di sisi rel, sehingga definisi gerak kereta hanya bisa ditentukan dengan kerangka acuan itu. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa gerak benda dan kerangka acuan adalah dua hal yang niscaya berpasangan.

Perseteruan

Dalam abad 20, terjadi perseteruan hebat antara Fisika Relativitas dan Fisika Kuantum. Pada akhir Oktober 1927, atas prakarsa pengusaha sabun kaya raya, Ernst Solway, pertama kali diselenggarakan pertemuan paling penting dalam sejarah sains modern. Pertemuan ini terkenal dengan sebutan Konferensi Solway, bertempat di Hotel Metropole, Brussel, Belgia. Pertemuan pertama ini menjadi sangat terkenal lantaran terjadi perseteruan antara dua pemikir garis depan, Niels Bohr dan Albert Einstein. Perseteruan tersebut dipicu oleh pengumuman Bohr tentang tafsirannya terhadap Teori Kuantum, yang kemudian terkenal dengan sebutan Aliran Kopenhagen.

Aliran Kopenhagen memperkenalkan dua prinsip paling mendasar dalam fisika, yakni Prinsip Saling Melengkapi (dalam kaitannya dengan konsep materi) dan Prinsip Ketidakpastian (dalam kaitannya dengan konsep ruang-waktu). Masalahnya timbul manakala Einstein secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Prinsip Ketidakpastian, yang diyakini sebagai pengganti Prinsip Sebab-Akibat. Setiap jamuan teh sore hari, Einstein selalu menyerang prinsip-prinsip Bohr. Ia merancang berbagai percobaan pikiran untuk menemukan berbagai kontradiksi dalam prinsip tersebut. Namun selalu saja Bohr mampu menemukan kelemahan konsep Einstein dan mementahkannya.

Pada konferensi selanjutnya, tahun 1930, Einstein mengajukan apa yang disebutnya sebagai paradoks kotak cahaya, yang dirancang untuk menggugurkan ketidakpastian. Ia mengambarkan kotak penuh cahaya dan menganggap energi foton dan waktu pancarannya bisa ditentukan secara pasti. Waktu dan energi adalah sepasang variabel yang memenuhi Prinsip Ketidakpastian. Caranya kotak ditimbang terlebih dahulu. Dengan pengatur cahaya yang dijalankan jam di dalam kotak, satu foton dipancarkan. Lalu kotak tersebut ditimbang lagi untuk mengetahui massanya. Kalau perubahan massanya diketahui, maka energi foton dapat dihitung dengan persamaan E=mc2. Perubahan energi diketahui dengan tepat, begitu juga waktu pancaran fotonnya, sehingga gugurlah Prinsip Ketidakpastian.

Percobaan pikiran ini membuat Bohr kelimpungan. Semalam suntuk ia mencari kelemahan hujah Einstein. Pagi harinya Bohr menggambarkan kotak cahaya. Dengan gigih, ia mematahkan argumen Einstein: “Ketika foton dipancarkan terjadi sentakan yang menyebabkan ketidakpastian posisi jam dalam medan gravitasi bumi. Ini menyebabkan semacam ketidakpastian pencatatan waktu berdasarkan asumsi Teori Relativitas Umum”.

Einstein sejauh itu kalah dalam berbagai adu argumentasi dengan Bohr. Namun perseteruan berlanjut hingga tahun 1935, ketika ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di Institute for Advanced Study, Princeton. Einstein mengajukan paradoks yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Bersama dua kolega mudanya, Boris Podolsky dan Nathan Rosen, ia mengajukan masalah yang terkenal dengan sebutan Paradoks EPR (Einstein-Podolsky-Rosen) untuk meruntuhkan Prinsip Ketidakpastian.

Kalau ada sepasang partikel, misalnya A dan B, dalam keadaan tunggal atau kedua spinnya saling meniadakan (berpasangan). Keduanya bergerak saling menjauh dalam arah tertentu. Suatu ketika spin A ditemukan dalam keadaan ‘atas’. Karena kedua spin harus saling meniadakan, maka dalam arah yang sama spin B harus dalam keadaan ‘bawah’. Fisika klasik sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Cukup disimpulkan bahwa spin B harus selalu ‘bawah’ sejak pemisahan. Masalahnya mulai tampak manakala Aliran Kopenhagen memperlakukan spin A selalu tak pasti sampai ia diukur dan harus mempengaruhi B seketika itu juga, yaitu mengatur agar spin B berpasangan dengannya. Ini berarti ada aksi pada jarak atau komunikasi yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, yang tidak bisa diterima. Einstein dan para koleganya mengusulkan apa yang disebut Prinsip Lokalitas sebagai jalan tengah paradoks ini, sehingga ia mengartikannya sebagai kealpaan Aliran Kopenhagen. Kalau sistem tersebut dipisahkan satu sama lain, pengukuran yang satu tentu tidak akan berpengaruh terhadap yang lain. “Jangan pernah lupakan Teori Relativitas Khusus saya: tidak ada yang lebih cepat dari cahaya”, demikian Einstein menegaskan.

Meskipun demikian, Bohr tetap tidak setuju terhadap konsep pemisahan tersebut. Ia segera mengingatkan Einstein dan semua penyokong sains bahwa mazhabnya selalu menegaskan bahwa mekanika kuantum sangat tidak memperbolehkan pemisahan antara pengamat dan yang diamati. Dua elektron dan pengamat adalah bagian dari satu sistem yang utuh. Jadi, percobaan EPR, menurut dia, tidak membuktikan ketidaklengkapan Teori Kuantum. “Sangat naif anggapan bahwa sistem atom dapat dipisah-pisah. Sekali dikaitkan, sistem atom tak akan pernah terpisahkan”, demikian Bohr menegaskan.3

Dalam pengamatan-pengamatan selanjutnya didapatkan bahwa Prinsip Ketidakpastian berlaku dalam dunia skala kecil dan dapat diabaikan dalam dunia skala besar. Sebaliknya, sebab-akibat berlaku dalam dunia skala besar dan dapat diabaikan dalam dunia skala kecil. Pola yang sangat teratur itu memperlihatkan adanya relasi keberpasangan. Bahwa sebab-akibat maupun ketidakpastian bukanlah dua hal yang saling mengalahkan satu sama lain. Mereka berlaku kedua-duanya, berdampingan, dan sederajat, sebagai sebuah keberpasangan. Alat ukur fisikawan yang tidak bisa lebih halus lagi dari gelombang elektromagnetik menyebabkan usikan-usikan terhadap objek pengamatan. Bagi objek-objek halus seperti elektron, usikan itu akan sangat mengganggu ketelitian pangukuran, sedangkan bagi objek-objek yang kasat mata seperti bola, meja, bintang, planet, dan sebagainya, usikan-usikan itu tidaklah berarti. Maka diyakini bahwa pengaruh ketidakpastian sangat kuat dalam dunia partikel subatomik dan diabaikan dalam dunia skala besar, sedangkan pengaruh sebab-akibat Newton dapat diamati dalam dunia skala besar bintang dan diabaikan pada dunia partikel subatomik.

Selain kasus-kasus di atas, mestinya masih banyak kasus keberpasangan lain dalam fisika. Kasus-kasus di atas ditemukan setelah konsep-konsepnya mapan. Kalau prosesnya diperluas, yakni mengintegrasikan keberpasangan dalam konsep-konsep yang belum mapan secara eksperimen, misalnya Teori Supersimetri dan Superstring, kita akan mendapatkan yang lebih banyak lagi. Tapi apakah kita bisa melakukannya?

Di Alkitab

Sekedar informasi, pada tanggal 17 November 2008, saya menemukan ayat-ayat dalam Alkitab yang menjelaskan secara eksplisit (meskipun tidak seeksplisit Alquran) mengenai keberpasangan:

“Di sana ular pohon bersarang dan bertelur, mengeram sampai telurnya menetas, burung-burung berdendang saja berkumpul di sana, masing-masing dengan pasangannya. Carilah di dalam kitab Tuhan dan bacalah: satu pun dari semua makhluk itu tidak ada yang ketinggalan dan yang satu tidak kehilangan yang lain, sebab begitulah perintah yang keluar dari mulut Tuhan, dan Roh Tuhan sendiri telah mengumpulkan mereka (Yesaya 34:15-16)”.

Disarikan dari:

1Tafsir Al-Mishbah (Quraisy Shihab)

2Seri Mengenal dan Memahami Einstein (Joseph Schwartz dan Michael

McGuinness)

3Seri Mengenal dan Memahami Teori Kuantum (JP. McEvoy dan Oscar Zarate)

foto: imagecache2.allposters.com


Di Posting Oleh : Dorin Mutoif, Poltekkes DEPKES Yogyakarta Jurusan AKL/JKL/KESLING/kESEHATAN LINGKUNGAN Politeknik Kesehatan DEPKES Yogyakarta..

Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Munggu, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, 54382


1 komentar:

H.M.Jamil,SQ,MPd mengatakan...

Salam Hormat, Salam Senyum Kanggo Sedulur Kabeh
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Perkenalkan, Saya H.M.Jamil,SQ,MPd ingin meminta dukungan Saudara dalam pemilihan Caleg DPR RI PPP 2009 Dapil Kebumen, Banjarnegara & Purbalingga.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Salam Hangat buat Keluarga Anda
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.